HomeHISTORYJual Lukisan Sampai Manado, Demi Merantau, Di Bandung, Menjadi Murid Prof. Wengkart,...

Jual Lukisan Sampai Manado, Demi Merantau, Di Bandung, Menjadi Murid Prof. Wengkart, Pengagum El Greco & Picasso

Rabu, 24 Juni 2020

MILENIUMTIMES.com, Tomohon- Rubrik “History” Mileniumtimes.com telah hadir di ruang Anda sejak Jumat 5 Juni 2020 dengan edisi perdananya tentang Lambertus Nicodemus ‘Babe’ Palar. Rubrik ini mendapat sponsor utama dan satu-satunya dari Sanggar “Maleosan” New Hampshire Amerika Serikat. Sebuah sanggar seni, tari dan budaya orang-orang Kawanua di New Hampshire yang berasal dari al; Tomohon, Tondano, Tonsea, Sonder, Manado. Sanggar ini berdiri sejak 2018 diprakarsai dan dikomandani oleh Jemmy Korompis (Ketua), Luis Enoch (Sekretaris) dan Ivon Wowor (Bendahara). Sanggar ini dilengkapi dengan pelatih Nancy Pitoy dan Herbie Golioth pelatih spesialis solo dan musik pop. Hingga kini Sanggar “Maleosan” tetap eksis dengan berbagai kegiatan.

Tokoh kedua dalam rubrik ini yakni, Hendrik Hermanus Joel Ngantung Gubernur DKI 1964-1965 yang akan disajikan secara bersambung hingga selesai topik/judul ceritanya dan setiap minggu diturunkan topik/judul baru, Tamber Wangko dan Selamat Mengikuti.

TALENTA melukis rupanya menjadi bekal Henk yang diam-diam menyimpan impian, kelak usai selesai sekolah ingin merantau ke Jawa. Dari pameran itu, sebagian dari lukisan-lukisannya laku terjual, uangnya pun disimpannya dalam kaleng. Tidak cukup dari pendapatan pameran, usai tamat sekolah ketika sudah tinggal di rumah orang tuanya yang baru di Mu’ung 1935, Henk mulai pekerjaan menjual lukisan.

Di Tomohon, ia menawarkan karyanya dari rumah ke rumah, bahkan dijualnya sampai Manado (waktu itu ibukota keresidenan Manado) berjarak sekitar 25 km dari Tomohon.

Jualan di Manado, Henk kadang tidak pulang rumah (Tomohon) karena waktu itu, oto (mobil) masih langkah sebagai alat transportasi umum. Jika oto pergi dan pulang dari Manado (terminal/stasiun di Calaca atau Bendar /kini kawasan Pasar 45 Manado), terkadang kembali besoknya, sehingga Henk harus tidur ditemani lukisannya di Manado.

Kalaupun pun harus balik Tomohon hari itu juga, butuh waktu berjam-jam di terminal menunggu alat transportasi utama kala itu, roda sapi, roda kuda tertutup atap ‘katu’ (rumbia) yang hendak pulang atau akan melintas di Tomohon dengan resiko kehujanan dan kemalaman di jalan. Tapi bukan halangan karena Henk sudah tidak bersekolah.

Melukis dan jualan lukisan, ia tekuni hampir dua tahun, tidak diketahui pasti berapa banyak lukisan Henk selama itu. Setelah merasa cukup, terkumpul ratusan gulden hasil jualan lukisannya, uang hasil keringatnya itu lalu dipakainya ongkosi merantau ke Jawa pertengahan 1937.

Keinginan Henk merantau, tidak dihalangi keluarganya mengingat kedua orang tuanya terlebih ayahnya lama diperantauan Jawa sebagai serdadu KNIL. Namun begitu, kedua orang tuanya ada rasa was-was jika Henk mau merantau ke Jawa, mengingat Henk anak sulung dan usianya masih terbilang mudah 16 tahun.

Di Bandung, Menjadi Murid Prof. Wengkart

Henk akhirnya tiba di Jawa 1937 pulau kelahirannya. Ia lalu memilih tinggal dan menetap di Bandung. Di Kota Kembang itu Henk tidak diketahui pasti tinggal pada keluarga siapa atau indekost dimana, tapi anggota keluarga yang lain menyebut kalau Henk tinggal sementara di rumah teman baik ayahnya sesama anggota KNIL yang berasal dari Minahasa. Tinggal di Bandung, Henk semakin serius dengan bakat melukisnya.

Sekitar 1938, ia bertemu dengan Prof Rudolf Wengkart seorang akademikus dan pelukis potret terkemuka asal Wina Austria. Pertemuan lalu berlanjut hingga Henk menjadi anak didik Prof Wengkart walaupun singkat tiga bulan. Beruntung, Henk murid satu-satunya Prof Wengkart dan ia mampu memperdalam pengetahuan serta bakat seni melukisnya.

Di Bandung pula, tepatnya di rumah Neumans seorang kolektor barang antik dan seni, Henk bertemu dan mulai berkenalan dengan beberapa seniman Eropa seperti; Prof Wolff Schoemaker (arsitek penjara Sukamiskin), Luigi Nobili dan Dake. Dari rumah kediaman keluarga Neumans, Henk banyak belajar dan menimbah ilmu melukis. Di Kota Bandung pula, Henk bertemu pertama kali dengan pelukis terkenal Indonesia Affandi.

Kendati usianya masih relatif muda, dari 1937-1940, Henk cepat menyesuaikan diri dan sudah bergabung dengan pelukis-pelukis hebat yang bergabung dalam wadah perkumpulan Persatuan Gambar Indonesia (PERSAGI) Bandung. Di kota Bandung inilah untuk pertama kali, lukisannya ikut dipamerkan. Bahkan ikut dijual di toko ternama jualan barang antik dan seni bernama “Kunsthandel WILO” milik orang Italia berlokasi di jalan Braga Bandung. Henk beruntung, karena di toko antik dan seni itu, karya-karyanya mendapat apresiasi untuk dipamerkan secara eksklusif karena di toko itu, lukisan karya ‘pelukis pribumi’ yang boleh diterima hanya Affandi, Basuki Abdullah, R.M. Pringadi.

Pengagum El Greco & Picasso, Pindah ke Jakarta 1940

Boleh jadi mengapa Henk begitu mengagumi El Greco (Tahun 1541-1614, asal Yunani/Spanyol) dan Pablo Picasso (Tahun 1881-1973, asal Spanyol). Lantaran, Henk masih punya darah berasal dari ‘benua biru’ Eropa. Dari pihak ibu (Anes), Henk diketahui mengalir darah Portugis, sama seperti kedua pelukis tersohor Eropa dan dunia itu. Kedua pekerja seni termasyur dunia El Greco dan Picasso ini sangat dikagumi Henk. Dari kedua seniman Eropa pujaannya itu, Henk mempertajam dan banyak memperluas pengetahuan melukisnya secara otodidak. Lalu, karya-karyanya, bisa dibilang bergaya realis ekspresionis.

Tiga tahun menetap di Bandung terasa belum cukup mengembangkan bakat melukisnya, sehingga pada 1940 Henk hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, kendati masih era kolonial Belanda namun Henk tetap menjalankan profesinya sebagai pelukis karena melukis adalah sumber kehidupannya.

Awal tinggal di Jakarta, Henk belum punya tempat tinggal tetap. Ia beberapa kali harus pindah tempat tinggal. Diketahui kalau  Henk pernah tinggal di rumahnya orang Yahudi dan orang Swiss. Di Jakarta, ia sempat mengikuti beberapa pameran yang diselenggarakan di “Bataviaasche Bond van Kunstkringen” Jakarta. Lukisan-lukisannya, menampilkan tentang pemandangan dan potret manusia.

Bekerja Di SK. “Yomiuri Shinbun”,

Jepang masuk menduduki Indonesia pada 1942. Ditengah masa penjajahan Jepang, bakat seni melukis Henk justru makin berkembang dan ia mulai terlibat dengan para pelukis-pelukis terkenal pada masa itu. Bakat melukis Henk diketahui pemerintahan pendudukan Jepang.

Ia lalu tidak hanya masuk tapi ikut berpartisipasi dalam pameran-pameran yang diselenggarakan organisasi seniman PUTRA dan Pusat Kebudayaan Jepang yakni “Keimin Bunka Sidosho”. Kenalannya, Kepala Perwakilan Surat Kabar (SK) Yomiuri Shinbun di Jakarta, Henk lalu dijadikan free lance illustrator.

Tahun 1942, Keimin Bunka Sidosho kantor Henk bekerja, menggelar pameran lukisan besar diikuti semua peserta yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Pameran itu memamerkan karya-karya terbaik dan lukisan Henk berjudul “Digiring ke Kandang” salah satu lukisan yang mendapatkan hadiah (Bersambung/Baku Dapa Dengan Soekarno Pertama Kali)

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments